LEMBARAN
DAERAH KOTA DEPOK |
PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK |
NOMOR 2 TAHUN 2009 |
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 12 TAHUN
2001
TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA DEPOK
TAHUN 2000 – 2010
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA
DEPOK,
Menimbang |
: |
a. bahwa kondisi pemanfaatan ruang di Kota Depok dalam 5 (lima) tahun
terakhir sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat serta adanya
perubahan Visi dan Misi Kota Depok, sehingga perlu diberikan kejelasan dalam
kebijakan dan arahan penataan ruang Kota Depok dalam dokumen Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Depok; |
||||
|
|
b.
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26, dan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 52
Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001, peninjauan kembali dan
penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah dapat dilakukan paling sedikit 5
(lima) tahun sekali; |
||||
|
|
c.
|
||||
|
|
d.
bahwa berdasarkan ketentuan Rencana Umum Jaringan Jalan
Nasional, terdapat perubahan trase ruas jaringan jalan tol JORR II (ruas
jalan Tol Depok-Antasari dan ruas jalan Tol Cinere-Jagorawi) yang melintasi
wilayah Kota Depok, sehingga perlu ada penyesuaian dan perubahan terhadap rencana
tata ruang kota yang ada; |
||||
|
|
e.
Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Darat No. SK.371/AJ.101/DRJD/2008 Tentang Penetapan Lokasi
Terminal Penumpang Tipe A Kota Depok – Provinsi Jawa Barat, telah ditetapkan
Terminal Tipe A di Kelurahan Jatijajar, Kecamatan Cimanggis, sehingga perlu
ada penyesuaian dan perubahan terhadap rencana tata ruang kota yang ada. |
||||
|
|
f. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d,
dan e, perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun
2000-2010; |
||||
Mengingat |
: |
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043); |
||||
|
|
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209); |
||||
|
|
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3699); |
||||
|
|
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828); |
||||
|
|
5.
|
||||
|
|
6.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); |
||||
|
|
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); |
||||
|
|
8.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); |
||||
|
|
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); |
||||
|
|
10. Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004
Nomor 132 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); |
||||
|
|
11. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); |
||||
|
|
12. Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3174 ); |
||||
|
|
13. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3660);
|
||||
|
|
14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3721); |
||||
|
|
15. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2000 Tentang Tingkat Ketelitian Peta
untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); |
||||
|
|
16. Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4242 ); |
||||
|
|
17. Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); |
||||
|
|
18.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385); |
||||
|
|
19. Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489); |
||||
|
|
20. Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); |
||||
|
|
21. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); |
||||
|
|
22. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
|
||||
|
|
23. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833); |
||||
|
|
24. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung; |
||||
|
|
25. Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan
Bogor-Puncak-Cianjur; |
||||
|
|
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang di Daerah; |
||||
|
|
27. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang Pinjam
Pakai Kawasan Hutan; |
||||
|
|
28. Keputusan Menteri
Permukiman Prasarana Wilayah Nomor 327/M/Kpts/2002 tentang Penetapan Enam
Pedoman Bidang Penataan Ruang; |
||||
|
|
29. Keputusan
Menteri Permukiman Prasarana Wilayah Nomor 375/M/KPTS/2004 tentang Penataan
Ruas-ruas Jalan Dalam Jaringan Primer Menurut Peranannya sebagai Jalan
Arteri, Jalan Kolektor -1, Kolektor-2, Kolektor-3; |
||||
|
|
30. Keputusan
Menteri Permukiman Prasarana Wilayah Nomor 376/M/KPTS/2004 tentang Penataan
Ruas-ruas Jalan Dalam Jaringan Primer Menurut Statusnya; |
||||
|
|
31. Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 369/KPTS/M/2005 tentang Rencana Umum Jaringan
Jalan Nasional; |
||||
|
|
32. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Derah; |
||||
|
|
33. Keputusan
Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK.371/AJ.101/DRJD/2008 Tentang
Penetapan Lokasi Terminal Penumpang Tipe A Kota Depok – Provinsi Jawa Barat; |
||||
|
|
34. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2001 tentang
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2001 Nomor 1);
|
||||
|
|
35. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Lingkungan
Geologi (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
2002 Nomor 2); |
||||
|
|
36. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Barat Tahun 2003 Nomor 2); |
||||
|
|
37. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun 2005 tentang Sempadan Sumber Air (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 Nomor 8); |
||||
|
|
38. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 Nomor 2) ; |
||||
|
|
39. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 1 Tahun 1999 tentang Lambang dan Hari
Jadi Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 1999 Nomor 1); |
||||
|
|
40. Peraturan daerah Kota Depok Nomor 27 Tahun 2000 tentang Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2000 Nomor 27); |
||||
|
|
41. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun 2003 tentang Kewenangan
(Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 33); |
||||
|
|
42. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pembentukan dan
susunan Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 34); |
||||
|
|
43. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 3 Tahun 2006 tentang Bangunan dan
Retribusi IMB (Lembaran Daerah Tahun 2006 Nomor 03 Tambahan Lembaran Daerah
Nomor 58); |
||||
|
|
44. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan
(Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 8 Tambahan Lembaran Daerah Nomor 61); |
||||
|
|
|
||||
|
Dengan Persetujuan Bersama |
|||||
|
|
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DEPOK |
||||
|
|
DAN |
||||
|
|
WALIKOTA DEPOK |
||||
|
|
|
||||
Menetapkan |
: |
PERATURAN
DAERAH KOTA DEPOK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 12
TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA DEPOK TAHUN 2000 – 2010. |
||||
|
|
Pasal I |
||||
|
|
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010 (Lembaran Daerah Nomor
45) diubah sebagai berikut : |
||||
|
|
|
||||
|
|
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 1 |
||||
|
|
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: |
||||
|
|
1.
Kota adalah Kota Depok. |
||||
|
|
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Depok. |
||||
|
|
3. Walikota adalah Walikota
Depok. |
||||
|
|
4. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok. |
||||
|
|
5. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok yang selanjutnya disingkat RTRW Kota
adalah strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kota. |
||||
|
|
6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah Kota,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. |
||||
|
|
7. Tata ruang adalah wujud struktur dan pola ruang. |
||||
|
|
8. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. |
||||
|
|
9. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budidaya. |
||||
|
|
10. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
|
||||
|
|
11. Penyelenggaraan
penataan ruang adalah kegiatan yang akan meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. |
||||
|
|
12. Pengaturan
penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam penataan ruang. |
||||
|
|
13. Pembinaan
penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. |
||||
|
|
14. Pelaksanaan
penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
15. Pengawasan
penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat
diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||
|
|
16. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. |
||||
|
|
17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
serta pembiayaannya. |
||||
|
|
18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang. |
||||
|
|
19. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. |
||||
|
|
20. Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) adalah salah satu hasil perencanaan tata
ruang yang disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang yang
penetapan kawasannya tercakup di dalam rencana tata ruang wilayah, terdiri
atas rencana tata ruang pulau dan rencana tata ruang kawasan strategis
nasional, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi dan rencana detail
tata ruang kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kota; |
||||
|
|
21.
|
||||
|
|
22. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi dan/atau aspek fungsional. |
||||
|
|
23. Bagian
Wilayah Kota (BWK) adalah pembagian wilayah perencanaan berdasarkan fungsi
dan wilayah pengaruh dari masing-masing pusat kegiatannya. |
||||
|
|
24. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. |
||||
|
|
25. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan. |
||||
|
|
26. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan. |
||||
|
|
27. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. |
||||
|
|
28. Tujuan adalah nilai-nilai dan kinerja yang mesti dicapai dalam
pembangunan Kota berkaitan dalam kerangka visi dan misi yang telah ditetapkan. |
||||
|
|
29. Strategi Pengembangan adalah langkah-langkah penataan ruang dan
pengelolaan kota yang perlu dilakukan untuk mencapai visi dan misi
pembangunan kota yang telah ditetapkan. |
||||
|
|
30. Kawasan pengembangan adalah wilayah-wilayah yang berpotensi untuk
dikembangkan terutama dalam rangka menarik perkembangan kota ke arah yang
diinginkan. |
||||
|
|
31. Kawasan preservasi adalah kawasan yang fungsinya perlu dipelihara
keberadaannya. |
||||
|
|
32. Kawasan peremajaan adalah kawasan dengan kondisi lingkungan yang buruk
dan perlu ditingkatkan karena fungsinya yang strategis bagi perkembangan kota
atau mempunyai dampak terhadap turunnya kinerja kota.
|
||||
|
|
33. Kawasan Resapan Air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang
berguna sebagai sumber air maupun bagian dari upaya pengendalian banjir. |
||||
|
|
34. Kawasan Permukiman adalah Kawasan yang diarahkan dan diperuntukan bagi
pengembangan permukiman atau tempat tinggal, hunian beserta prasarana dan
sarana lingkungan yang terstruktur. |
||||
|
|
35. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. |
||||
|
|
36. Kawasan hijau lindung adalah bagian dari kawasan hijau yang perlu
dillestarikan untuk tujuan perlindungan habitat setempat maupun untuk tujuan
perlindungan wilayah yang lebih luas. |
||||
|
|
37. Kawasan hijau binaan adalah bagian dari kawasan hijau diluar kawasan
hijau lindung untuk tujuan penghijauan yang dibina melalui pengamanan,
pengembangan, pemeliharaan maupun pemulihan vegetasi yang diperlukan dan
didukung fasilitasnya yang diperlukan baik untuk sarana ekologis maupun
sarana sosial kota yang dapat didukung fasilitas sesuai keperluan untuk
fungsi penghijauan tersebut. |
||||
|
|
38. Kawasan
strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. |
||||
|
|
39. Kawasan
strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. |
||||
|
|
40. Kawasan
strategis kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan. |
||||
|
|
41.
|
||||
|
|
42. Kawasan Campuran adalah kawasan yang diarahkan dan diperuntukan bagi
pengembangan kegiatan campuran bangunan umum dengan permukiman beserta
fasilitasnya. |
||||
|
|
43. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku,
barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang yang bernilai
tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan
industri. |
||||
|
|
44. Industri yang ramah lingkungan adalah industri yang tidak menghasilkan
limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan tidak menggunakan air tanah
secara berlebihan. |
||||
|
|
45. Kawasan Industri adalah kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi
pengembangan industri beserta fasilitas penunjangnya. |
||||
|
|
46. Areal Jasa Pergudangan adalah areal atau daerah yang diarahkan dan
diperuntukan bagi pengembangan sebagai fasilitas penunjang kegiatan industri
dan perdagangan. |
||||
|
|
47. Bagian Wilayah Kota atau selanjutnya disingkat BWK adalah kawasan yang
diarahkan bagi pemusatan berbagai kegiatan campuran maupun spesifik, memiliki
fungsi strategis dalam menarik berbagai kegiatan pemerintahan, sosial,
ekonomi, dan budaya. |
||||
|
|
48. Kawasan Wisata adalah Kawasan dan/atau bangunan-bangunan yang memiliki
nilai sejarah dan nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk dilindungi dan
dikembangkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dokumentasi, dan
kepariwisataan. |
||||
|
|
49. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disebut KDB adalah angka
prosentase berdasarkan perbandingan jumlah luas lantai dasar bangunan
terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. |
||||
|
|
50. Koefisien Lantai Bangunan, yang selanjutnya disebut KLB, adalah besaran
ruang yang dihitung dari angka perbandingan jumlah luas seluruh lantai
bangunan terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana teknis ruang kota.
|
||||
|
|
51. Koefisien Dasar Hijau, yang selanjutnya disebut KDH, adalah angka
prosentase berdasarkan perbandingan jumlah luas lahan terbuka untuk penanaman
tanaman dan/atau peresapan air terhadap luas tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana kota. |
||||
|
|
52. Situ adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang
terbentuk secara alami maupun buatan, yang airnya berasal dari tanah atau air
permukaan sebagai siklus hidrologi yang potensial dan merupakan salah satu
bentuk kawasan lindung. |
||||
|
|
53. Danau adalah sejumlah air (tawar atau asin) yang terakumulasi di suatu
tempat yang cukup luas, yang dapat terjadi karena mencairnya gletser, aliran
sungai atau karena adanya mata air. |
||||
|
|
54. Kawasan sekitar Danau/Situ adalah kawasan tertentu disekeliling danau/situ
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
danau/situ. |
||||
|
|
55. Garis sempadan adalah garis batas luar pengaman untuk mendirikan bangunan
dan/atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan, tepi
luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi
situ/danau/rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta api, jaringan
tenaga listrik, pipa gas. |
||||
|
|
56. Taman hutan raya adalah kawasan alam untuk tujuan koleksi tumbuhan
dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli, yang
dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. |
||||
|
|
57. Kawasan budidaya pertanian lahan basah adalah kawasan budidaya pertanian
yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air secara terus menerus
sepanjang tahun, musiman atau bergilir dengan tanaman utama padi. |
||||
|
|
58.
|
||||
|
|
59. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dapat disebut penyidik, untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi serta menemukan tersangkanya. |
||||
|
|
60. Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota Depok
yang diberi wewenang Khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan
terhadap Pelanggaran Peraturan Daerah yang memuat Ketentuan pidana. |
||||
|
|
|
||||
|
|
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 2 |
||||
|
|
(1) Lingkup
wilayah RTRW Kota adalah Daerah dengan batas yang ditentukan berdasarkan
aspek administratif mencakup ruang daratan seluas 20.029 Ha termasuk ruang di
dalam bumi serta ruang udara. |
||||
|
|
(2) Batas-batas wilayah adalah sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI
Jakarta, sebelah timur berbatasan dengan Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor,
sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Bogor, sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor. |
||||
|
|
|
||||
|
|
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 7 |
||||
|
|
a.
Kecamatan Beji diarahkan untuk kawasan perdagangan dan
jasa, pendidikan tinggi dan permukiman kepadatan sedang sampai tinggi; b.
Kecamatan Pancoran Mas diarahkan untuk kawasan
pendidikan, pusat perkantoran, perumahan kepadatan sedang sampai tinggi,
perdagangan dan jasa, pertanian, kawasan wisata, prasarana sistem pengelolaan
persampahan kota serta kawasan tertentu; c.
Kecamatan Limo diarahkan untuk kawasan permukiman
kepadatan sangat rendah sampai sedang, perdagangan dan jasa, serta pertanian; d.
Kecamatan Sawangan diarahkan untuk kawasan permukiman
kepadatan sangat rendah sampai sedang, agribisnis, pertanian, industri ringan yang ramah lingkungan,
prasarana sistem pengelolaan persampahan kota, jasa pergudangan, sentra niaga
dan budaya serta kawasan wisata; e.
Kecamatan Sukmajaya diarahkan untuk kawasan permukimar
kepadatan rendah, sedang dan tinggi, perdagangan dan jasa, kawasan tertentu,
prasarana sistem pengelolaan limbah domestik kota, serta industri yang ramah
lingkungan; dan f.
Kecamatan Cimanggis diarahkan untuk kawasan permukiman
kepadatan sangat rendah sampai sedang, perdagangan dan jasa, pertanian,
kawasan wisata, prasarana sistem pengelolaan persampahan kota serta industri
ramah lingkungan, dan jasa pergudangan. |
||||
|
|
|
||||
|
|
4. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf a diubah sehingga Pasal 9 berbunyi
sebagai berikut: Pasal 9 (1) Kawasan
yang termasuk dalam kategori Kawasan Preservasi adalah kawasan lindung yang
fungsinya perlu dipertahankan Keberadaannya. (2) Kawasan yang termasuk Kawasan Preservasi
yaitu : a.
Kawasan perlindungan setempat mencakup sempadan sungai
sepanjang Sungai Angke, Pasanggrahan, Saluran Cisadane Empang/Kali Baru
Barat, Saluran Cisadane Empang/Kali Baru Tengah, Sungai Ciliwung, Saluran
Ciliwung Katulampa, Sungai Citatah Sunter, Sungai Cikeas dan anak-anak sungai
lainnya serta Kawasan perlindungan sempadan situ/danau mencakup 30 buah
situ/danau yang tersebar di dalam kota; b.
Cagar Bangunan Kota Lama sebagai bagian dari sejarah
pembentukan Kota Depok yang perlu dijaga dan dipertahankan terletak di
Kecamatan Pancoran Mas; c.
(3) Ketentuan
mengenai kawasan sempadan sungai dan sempadan situ/danau tercantum pada
Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
||||
|
|
|
||||
|
|
5. Ketentuan Pasal 14 ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga
berbunyi sebagai berikut : |
||||
|
|
Pasal 14 |
||||
|
|
(1) Kawasan Permukiman terdiri atas Kawasan permukiman dengan Kepadatan
bangunan sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi dengan Kriteria sebagai
berikut : |
||||
|
|
a. Kepadatan bangunan sangat rendah yaitu dengan Koefisien Dasar Bangunan
< 35%; |
||||
|
|
b. Kepadatan bangunan rendah yaitu dengan Koefisien Dasar Bangunan antara
35-45%; |
||||
|
|
c. Kepadatan bangunan sedang yaitu dengan Koefisien Dasar Bangunan antara
45-60%;dan |
||||
|
|
d. Kepadatan bangunan tinggi yaitu dengan Koefisien Dasar Bangunan antara
60-75%. |
||||
|
|
(2) Setiap Kawasan permukiman secara bertahap dilengkapi dengan sarana
lingkungan yang jenis dan jumlahnya disesuaikan dengan Kebutuhan masyarakat
setempat berdasarkan standard fasilitas umum dan fasilitas sosial. |
||||
|
|
(3) Fasilitas umum dan fasilitas sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi : |
||||
|
|
a. Fasilitas pendidikan; |
||||
|
|
b. Fasilitas kesehatan; |
||||
|
|
c. Fasilitas peribadatan; |
||||
|
|
d. Fasilitas olahraga dan lapangan terbuka; |
||||
|
|
e. Fasilitas kesenian dan kebudayaan; |
||||
|
|
f. Fasilitas rekreasi; |
||||
|
|
g. Fasilitas pelayanan pemerintah dan pelayanan umum; |
||||
|
|
h. Fasilitas perbelanjaan dan niaga; |
||||
|
|
i. Fasilitas pemakaman;dan |
||||
|
|
|
||||
|
|
(4) Bangunan Campuran pada Kawasan permukiman terdiri dari campuran antara
perumahan dengan jasa, perdagangan, industri Kecil dan atau industri rumah
tangga secara terbatas beserta fasilitasnya. |
||||
|
|
(5) Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, pembangunan fisik kota
dapat dilakukan secara vertikal di kawasan pusat pertumbuhan dengan
menetapkan pola intensitas ruang dengan ketentuan: |
||||
|
|
a.
penetapan nilai komponen intensitas ruang dimulai dari
penetapan besaran ruang menurut nilai KDB sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII dan Lampiran IX serta nilai KLB, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini; dan |
||||
|
|
b. ketentuan mengenai arahan jenis kegiatan yang diijinkan dalam pemanfaatan
ruang tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
||||
|
|
|
||||
|
|
6. Ketentuan Pasal 15 ayat (3) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai
berikut: |
||||
|
|
Pasal 15 |
||||
|
|
(1) Pengembangan Konsep struktur Kota berdasarkan adanya potensi
Kecenderungan dan mengarah pada faktor pembentukan struktur ruang yang
optimal. |
||||
|
|
(2) Dasar pertimbangan perencanaan yang digunakan yaitu Kota Depok dalam
perannya sebagai penyangga dan penyeimbang yang diharapkan dapat menumbuhkan kegiatan
yang bisa mendorong perkembangan Kota dan dapat melayani wilayah sekitarnya. |
||||
|
|
(3) Rencana pemanfaatan ruang dan Tabel Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Depok sampai
dengan tahun 2010 diarahkan sebagaimana tercantum pada Lampiran II dan
Lampiran III Peraturan Daerah ini. |
||||
|
|
|
||||
|
|
7. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut: |
||||
|
|
Pasal 16 |
||||
|
|
(1) Konsep struktur tata ruang kota dikembangkan dengan memperhatikan potensi
sumber daya, pengembangan infrastruktur, serta jenis dan pola sebaran
kegiatan yang akan berkembang sesuai dengan fungsi kota yang dituju. |
||||
|
|
(2) Berdasarkan pertimbangan pola sebaran kegiatan dan fungsi, secara makro
konsep pengembangan struktur ruang kota memiliki ciri: |
||||
|
|
a. wilayah Utara-Timur: fungsi jasa perdagangan dan jasa, industri,
perkantoran, pendidikan, pemukiman kepadatan sedang sampai tinggi;dan |
||||
|
|
b. wilayah Selatan-Barat: fungsi
pertanian/agroindustri, pusat perdagangan dan jasa, budaya,
pendidikan, wisata, perkantoran, industri yang ramah lingkungan, perdagangan
dan jasa, serta permukiman kepadatan sangat rendah sampai sedang. |
||||
|
|
(3) Rencana Orientasi
dan Intensitas Pemanfaatan Ruang sebagaimana tercantum
pada Lampiran I Peraturan Daerah ini. |
||||
|
|
|
||||
|
|
8. Ketentuan Pasal 19 ditambahkan 2 (dua) ayat yaitu ayat (6) dan ayat (7),
sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 19 |
||||
|
|
(1) Peningkatan integrasi antara berbagai modal angkutan sehingga dapat
diperoleh jasa layanan angkutan terpadu. |
||||
|
|
(2) Peningkatan pelayanan angkutan umum dilakukan dengan upaya Optimalisasi,
perbaikan fisik dan pembangunan prasarana baru. |
||||
|
|
(3) Peningkatan Kelancaran lalu lintas Kendaraan dilakukan melalui upaya
optimalisasi pemanfaatan ruang lalu lintas, perbaikan fisik, dan pembangunan
prasarana baru serta Kualitas lingkungan hidup. |
||||
|
|
(4) Pembangunan fasilitas yang memadai untuk menumbuhkan budaya berjalan kaki
dan Kendaraan tak bermotor terutama untuk jarak perjalanan yang relatif
pendek.
|
||||
|
|
(5) Peningkatan Ketertiban dan Keselamatan berlalu lintas dilakukan melalui
peningkatan disiplin lalu lintas bagi seluruh pengguna jalan,
peningkatan pengawasan Kelaikan Kendaraan, serta pembangunan
fasilitas-fasilitas yang mendukung Keselamatan lalu lintas. |
||||
|
|
(6) Pengembangan sistem transportasi meliputi: |
||||
|
|
a. rencana pengembangan jalan meliputi pembangunan ruas jalan tol Jagorawi-Cinere
(JORR II-Jakarta Outer Ring Road II) dan Rencana jalan tol
Bojonggede-Citayam-Pangeran Antasari serta pembangunan jalan arteri primer,
arteri sekunder, kolektor primer, dan kolektor sekunder dengan memperhatikan
ketentuan teknis yang berlaku;dan |
||||
|
|
b. Rencana pembangunan terminal penumpang tipe A di Kelurahan Jatijajar dan
beberapa sub terminal yang tersebar di beberapa bagian wilayah kota. |
||||
|
|
(7) Penataan dan pengembangan sistem layanan transportasi diatur lebih lanjut
dalam Tataran Transportasi Lokal (Tatralok) yang ditetapkan dengan Peraturan
Walikota. |
||||
|
|
|
||||
|
|
9. Ketentuan
Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 22 (1) Pengelolaan
sampah diarahkan dengan: a.
meningkatkan cakupan pelayanan persampahan hingga
daerah yang lebih luas; b.
meningkatkan kualitas lingkungan kota termasuk
peningkatan kualitas pengelolaan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah dan
peningkatan kualitas lingkungan disekitar TPA, yang berlokasi di TPA Cipayung
serta penetapan lokasi Tempat Pengelolaan Sementara (TPS) sampah yang
tersebar di setiap pusat kegiatan perkotaan; c.
meminimalisasi sampah dari sumbernya untuk mengurangi
beban tempat pengelolaan akhir (TPA) sampah. d.
pembuatan sistem pengelolaan sampah, termasuk
penyediaan sarana pengelolaan sampah yang tersebar di tiap-tiap kecamatan;
dan
e.
mengembangkan skema alternatif kerjasama dengan
berbagai pihak dalam pengelolaan sampah untuk
mengantisipasi keterbatasan lahan di TPA Cipayung. (2) Pengelolaan
sampah dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif. |
||||
|
|
|
||||
|
|
10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 31
(1) Kegiatan
pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui penetapan peraturan
zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan
sanksi. (2) Pengendalian
pemanfaatan ruang didukung oleh data spasial melalui sistem informasi geografis
yang memadai untuk mengoptimalkan kegiatan pengawasan. (3) Sebagai
bentuk pengendalian pemanfaatan ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
dilengkapi dengan: a.
RDTR/RRTR; dan b.
standar-standar teknis
operasional pemanfaatan ruang. |
||||
|
|
|
||||
|
|
11. Diantara pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
31A, sehingga berbunyi sebagai
berikut: |
||||
|
|
|
||||
|
|
Pasal 31A |
||||
|
|
Koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh Walikota melalui
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kota (BKPRD), dengan melibatkan peran
serta masyarakat. |
||||
|
|
|
||||
|
|
12. Diantara Bab VII dan Bab VIII disisipkan 1 (satu) bab yakni Bab VII A
sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
BAB VII A |
||||
|
|
SANKSI ADMINISTRATIF |
||||
|
|
Pasal 44A |
||||
|
|
(1) Sanksi administratif dikenakan kepada setiap orang atau badan yang
melanggar ketentuan Pasal 43. |
||||
|
|
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: |
||||
|
|
a. peringatan tertulis; |
||||
|
|
b. penghentian sementara kegiatan; |
||||
|
|
c. penghentian sementara pelayanan umum; |
||||
|
|
d. penutupan lokasi; |
||||
|
|
e. pencabutan izin; |
||||
|
|
f. pembatalan izin;dan |
||||
|
|
g. pembongkaran bangunan. |
||||
|
|
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau |
||||
|
|
i. denda administratif |
||||
|
|
(3) Tata cara pelaksanaan dan penetapan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota. |
||||
|
|
|
||||
|
|
13. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal
47
|
||||
|
|
Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini
digambarkan dalam Peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kota dengan tingkat
ketelitian minimal berskala 1 : 25.000 yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
||||
|
|
|
||||
|
|
14. Diantara
Pasal 53 dan Pasal 54 disisipkan 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 53A dan Pasal 53B,
sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||
|
|
Pasal 53A Segala
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini, yang terkait dengan penetapan batas
wilayah setelah dilakukannya pembentukan kecamatan baru, sebagaimana
diamanatkan dalam Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan, ditetapkan
lebih lanjut dalam Peraturan Walikota. |
||||
|
|
Pasal 53B Peraturan
Daerah ini berlaku hingga tahun 2010 dan pada tahun 2009 Pemerintah Kota
Depok akan menyusun Peraturan Daerah baru tentang Rencana Tata Ruang Wilayah,
yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan yang berlaku. |
||||
|
|
15. Setelah BAB XI ditambah 1 (satu) bab, yaitu BAB XII yang berbunyi sebagai
berikut: |
||||
|
|
BAB XII |
||||
|
|
KETENTUAN PENUTUP |
||||
|
|
Pasal 54 |
||||
|
|
|
||||
|
|
Pasal II |
||||
|
|
Peraturan
Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Depok. |
Ditetapkan di Depok
pada tanggal 6 Agustus 2009
WALIKOTA DEPOK,
ttd
H. NUR MAHMUDI ISMA’IL
Diundangkan
di Depok
pada tanggal 6 Agustus 2009
Plt. SEKRETARIS DAERAH KOTA DEPOK,
ttd
Ir. H. UTUH K. TOPANESA,
MM
NIP. 195603291985031004
LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2009
NOMOR 02
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
DAERAH KOTA DEPOK
NOMOR 2 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA DEPOK
NOMOR 12 TAHUN
2001
TENTANG RENCANA
TATA RUANG WILAYAH KOTA DEPOK
TAHUN
2000 – 2010
I. UMUM
Berpedoman
kepada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah
Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, maka status Kota
Depok berubah menjadi Kota. Berdasarkan hal tersebut, maka dirasakan perlu
disusun suatu Rencana Kota yang strategis, guna mewujudkan perencanaan Kota
Depok yang terpadu dan terarah. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 12 Tahun 2001
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2001 telah memasuki
tahun ke-lima, dimana telah dilaksanakan evaluasi terhadap perda tersebut pada
tahun 2005.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional serta Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun
2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat, strategi dan
arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Jawa Barat serta mengingat
dinamika perkembangan Kota Depok selama lima tahun terakhir, perlu dijabarkan
kedalam Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah Kota Depok.
Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Depok disusun berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras,
seimbang dan berkelanjutan serta mengandung nilai-nilai keterbukaan, persamaan,
keadilan dan perlindungan hukum.
|
Pada
dasarnya arahan Kota Depok menjadi Kota Penyangga tetap harus mempertimbangkan
semangat otonomi daerah dan kemandirian kota menuju kota yang mampu berkembang
mengimbangi fungsi Jabotabek, yaitu dengan fungsinya sebagai Kota Counter
Magnet. Keadaan ini diharapkan akan menimbulkan terciptanya ketergantungan yang
saling menguntungkan, baik bagi Kota Depok sendiri maupun wilayah sekitarnya.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok yang dimaksud merupakan penjabaran dan
strategi dari arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Nasional ke dalam
strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok yang meliputi:
a.
Kebijakan, pendekatan, dan strategi pengembangan tata
ruang untuk tercapainya tujuan pemanfaatan ruang yang berkualitas.
b.
Tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
c.
Struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok.
d.
Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota
Depok.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
PASAL
I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 7
Cukup
jelas
|
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
huruf a
Yang
dimaksud 30 buah Situ yang tersebar di Kota Depok terletak di:
a.
Kecamatan Sawangan terdiri dari :
1.
Situ
Bojongsari;
2.
Situ
Pengasinan;
3.
Situ
Pasir Putih;
b. Kecamatan Limo yaitu :
1. Situ Telaga Subur;
2. Situ Puri Cinere;
3. Situ Krukut;
c. Kecamatan Pancoran Mas terdiri dari
:
1.
Situ
Citayam;
2.
Situ
Pitara;
3.
Situ
Rawa Besar;
4.
Situ
Pulo/Asih.
d.
Kecamatan Beji terdiri dari :
1.
Situ
Pladen;
2.
Situ
Pondok Cina UI 4;
3.
Situ
UI 1;
4.
Situ
UI 2;
5.
Situ
UI 3;
e.
Kecamatan Sukmajaya terdiri dari :
1.
Situ
Cilodong;
2.
Situ
Kostrad Cilodong;
3.
|
4.
Situ
Sukamaju;
5.
Situ
Bahar/Sidomukti;
6.
Situ
Pengarengan;
f.
Kecamatan Cimanggis terdiri dari :
1.
Situ Dongkelan;
2.
Situ Tipar/Cicadas;
3.
Situ Gadog;
4.
Situ Rawa Kalong;
5.
Situ Jatijajar;
6.
Situ Cilangkap;
7.
Situ Patinggi;
8.
Situ Jemblung;
9.
Situ Rawa Gede;
huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 15
Ayat (1)
|
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 7
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Wilayah
Utara-TImur dengan intensitas pengembangan tinggi dan Wilayah Selatan-Barat
dengan intensitas pengembangan terbatas. Hal ini terkait dengan Keppres 114 Tahun 1999 tentang
Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur serta draft Peraturan Presiden Tahun
2005 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak dan Cianjur.
Ayat (3)
Cukup
jelas
Angka 8
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup
Jelas
Ayat (4)
Cukup
Jelas
Ayat (5)
|
Ayat (6)
huruf a
1.
Jalan kolektor primer di Kota Depok adalah Jalan Margonda, Jalan Tole Iskandar, Jalan
Siliwangi, Jalan Dewi Sartika, Jalan Raya Parung, Jalan Raya Sawangan, Jalan
Akses UI, Jalan Trans Yogi, Jalan Raya Meruyung, Jalan Raya Cinere, Jalan
Keadilan, Jalan Bojong Gede Raya dan Jalan Akses Tol Cimanggis-Nagrak.
2. Jalan
Arteri Sekunder di Kota Depok adalah Jalan Tanah Baru, Jalan Citayam, Jalan
Kartini dan Jalan Ir. H Juanda.
3.
Pembangunan jalan baru di Kota Depok dilakukan untuk
meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi pergerakan poros utara selatan dan barat
timur kota, yaitu:
a.
jalan tol Jagorawi-Cinere;
b.
jalan tol Bojonggede-Citayam-Antasari;
c.
terusan Jalan Juanda menuju Cinere;
d.
terusan Jalan Juanda menuju jalan tol Jagorawi;
e.
terusan jalan AR Hakim sampai jalan Tanah Baru;
f.
terusan Jalan Kota Kembang (Simpang Jalan Kartini) sampai
Jalan Sawangan (Simpang Jalan Pramuka);
g.
Simpang Jalan Raya Parung – Citayam – Kel. Kali Baru –
Simpang Jalan Raya Bogor - Simpang Jalan
Tapos;
h.
terusan Jalan Kelapa Dua/Jl.Lafran Pane disambungkan
dengan Jalan Sentosa Raya / Jalan Kemakmuran.
i.
mulai dari Simpang Jalan Meruyung Raya sampai Jalan
Parung Raya;
j.
|
k.
Jalan dari Pintu Tol Cimanggis menuju Terminal Jatijajar.
huruf b
Cukup
jelas
Ayat (7)
Cukup
jelas
Angka 9
Pasal 22
Cukup
jelas
Angka 10
Pasal 31
Cukup
jelas
Angka 11
Pasal 31
A
Cukup
jelas
Angka 12
Pasal 44A
Cukup
jelas
Angka 13
Pasal 47
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 53A
Cukup
jelas
Pasal 53B
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 54
Cukup jelas
|
PASAL
II
Cukup jelas
Sumber : RTRW Kota Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah mengunjungi blok saya